Oleh : Anita Fitriyawati S.Sos (*)
Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu), Nomor 33 tahun 2018 mengatur bahwa penertiban alat peraga kampanye (APK), harus berkoordinasi dengan pihak pemerintahan terkait, selanjutnya pemerintah menginstruksikan Satpol PP di wilayah masing-masing untuk menertibkannya.
Sebagai pengawas Pemilu di tingkat kecamatan (Panwaslucam), ditegaskan dalam Perbawaslu tersebut, untuk melakukan koordinasi dengan Muspika. Camat setempat, memerintahkan Satpol PP di bawah naungannya, melakukan penertiban APK yang dinilai melanggar, atas list rekomendasi Panwaslucam.
Kemudian, ketika kepala daerah yang lahir dari rahim politik praktis, masih memiliki agenda kepentingan suksesi untuk kemenangan di running politik berikutnya, conflict of interest akan menjadi belenggu bagi pengawas pemilu. Karena relasi kuasa pun akan bermain, antara Satpol PP dengan pemberi kuasanya : kepala daerah.
Tembok hirarki birokrat yang begitu kokoh dan kuat, tidak akan mungkin dilawan dengan menghantam serampangan. Terlebih hanya oleh Satpol PP yang bertugas di lapangan. Karena mereka, tidak mungkin konyol berani mengorbankan karirnya di lingkungan birokrasinya. Sebab jika tetap berani melenceng dari garis instruksi atasan pemilik kepentingan, mudah saja pemegang kuasa memutasinya.
Permasalahan yang demikian, kemudian menjadi langganan temuan di lapangan. Satpol PP kendor, saat dihadapkan dengan temuan APK milik penguasa dan atau keluarganya. Panwaslucam pun tidak memiliki wewenang lebih, kecuali sekedar koordinatif. Karena pucuk instruksi yang harus ditaati Satpol PP bukan Bawaslu, melainkan penguasa pemegang rezim.
Nah di sini kemudian, ketegasan Panwaslucam atas dasar keadilan perlu dimainkan. Sebagai institusi negara yang bersifat independen, Bawaslu yang tidak memiliki relasi kuasa dengan kepala daerah, perlu tegas mengambil sikap menurunkan sendiri APK yang luput dari penertiban Satpol PP. Tak terkecuali itu milik penguasa dan atau keluarganya. Meski disadari, tidak ada tugas yang melekat pada pengawas kecamatan, untuk menurunkan APK secara teknis.
Keterbatasan Penyelenggara Pemilu Dalam Penertiban APK
PKPU Nomor 23 tahun 2018, menjelaskan tentang arti APK adalah semua benda atau bentuk lain yang memuat visi, misi, program, dan atau informasi lainnya dari peserta Pemilu, simbol atau tanda gambar Peserta Pemilu, yang dipasang untuk keperluan kampanye, yang bertujuan untuk mengajak orang memilih peserta pemilu tertentu.
Secara spesifik APK disebut meliputi : A. baliho, billboard, atau videotron; B. spanduk; dan atau C. umbul-umbul.
Baliho, billboard dan spanduk diyakini sebagai APK yang masih efektif, dalam meningkatkan popularitas dan bahkan elektabilitas peserta pemilu. Demikian sering diungkapkan di berbagai rilis para pegiat survei politik.
Dasar inilah yang membuat peserta pemilu masih menggunakan APK berupa billboard, baliho dan spanduk yang disebar di berbagai titik strategis perkotaan hingga pedesaan. Bahkan sebelum tahapan kampanye dimulai pun, sudah mereka pasang dengan harapan, memiliki waktu yang panjang untuk dikenal masyarakat.
Masifnya pemasangan spanduk dan baliho di berbagai pelosok wilayah, dan waktu pemasangan yang jauh sebelum tahapan kampanye dimulai, membuat para penyelenggara pemilu di daerah : KPU dan Bawaslu kabupaten, tidak memiliki kemampuan yang memungkinkan, untuk melakukan penertiban.
Problemnya, personil tim penyelenggara yang terbatas dan bertambah berat, karena kemampuan anggaran yang minim. Bahkan faktanya pun, untuk menertibkan APK diluar masa kampanye, tidak ada postur anggaran untuk menertibkannya.
Mengulik perspektif regulasinya, belum ada aturan khusus baik di KPU maupun Bawaslu, yang mengatur mengenai alat peraga kampanye diluar tahapan. Seluruh alat peraga kampanye diluar tahapan kampanye, dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah daerah, selaku pengatur wilayah tersebut.
Kemudian untuk mengatasi persoalan yang demikian, biasanya pemerintah daerah memiliki peraturan sendiri terkait hal tersebut. Seperti di Kabupaten Jember, yang lahir Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 14 tahun 2013. Namun nyatanya, Perbup tersebut hanya terbit semacam “macan kertas” belaka. Ada namun seperti sengaja tidak dijalankan.
Menilainya sederhana, masih banyak APK terpasang tidak teratur, yang menyebar di mana-mana. Seperti di pepohonan, tempat fasilitas umum, bahkan rumah ibadah dan lembaga pendidikan.
Sekali lagi problemnya, bahwa mandulnya produk hukum itu, tidak bisa dijalankan dengan baik, karena kepentingan politik elit penguasa yang sedang berkontestasi. Terlebih, ada pemegang rezim yang kembali tanding di perhelatan politik praktis. Konflik kepentingan, menjadi biang keladinya.
Penegakan Aturan Pemilu
Tidak jarang terjadi gesekan, saat penertiban APK di lakukan. Petugas penertiban APK di lapangan, menjadi sasaran para pihak yang tidak puas dengan penertiban yang dilakukan. Tudingan yang sering muncul, petugas penertiban APK dianggap tidak fair.
Berangkat dari permasalahan klasik yang demikian, Bawaslu dan jajaran di bawahnya, harus imparsial dalam menegakkan aturan tentang penertiban APK. Tidak pandang bulu menjalankan sikap tegasnya. Tak terkecuali APK yang melanggar, milik dinasti rezim berkuasa sekalipun.
Sebagaimana filosofi dasar negara demokrasi adalah keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan tidak boleh didominasi oleh rezim berkuasa, namun harus diimbangi dengan penegakan aturan main melalui control public. Pengawasan rakyat penting untuk memberi perimbangan atas penyalahgunaan kekuasaan rezim.
Supaya muncul kontrol publik yang besar terhadap penyelenggaraan pemilu, komunikasi penyelenggara pemilu dengan masyarakat harus banyak dilakukan agar penegakan aturan pemilu bisa dijalankan dengan sokongan rakyat.
Memainkan isu aturan main untuk menegakkan aturan pemilu, menjadi seni yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemilu khususnya pengawas pemilu. Saat kebuntuan penegakan aturan main terjadi, memainkan isu aturan pemilu untuk mendapatkan dukungan politik publik, harus dilakukan ketika menghadapi rezim yang berkuasa.
Kenapa demikian?, karena rezim hanya bisa takluk dengan publik, sebagai pemilik kuasa tertinggi dalam sistem demokrasi. Hukum dan politik memang sangat erat singgungnya, terutama saat produk hukum tersebut diimplementasikan di lapangan.
Produk hukum bisa ditegakkan dengan baik, manakala didukung oleh situasi politik yang kondusif. Pun dalam persoalan penertiban APK. Aturan yang sudah ada harus ditegakkan, dengan upaya politik dalam mencari dukungan publik.
(*) Penulis adalah Ketua Panwaslucam Sumbersari