sdcs2
Home » Opini » M. Sholeh, Pemenang Gugatan Proporsional Terbuka, Berujung Dicoret Nyaleg PDIP (1)

M. Sholeh, Pemenang Gugatan Proporsional Terbuka, Berujung Dicoret Nyaleg PDIP (1)

456g

Oleh : Rully Efendi (*)

Suaranya masih terdengar cadel. Bagi yang kurang teliti, tak mengira bahwa pengacara asal Surabaya itu, kesulitan melafalkan huruf “R”. Sebab setiap intonasi yang diucapkan, begitu tegas tanpa keraguan. Terlebih saat berbicara soal gugatannya di MK, tentang proposional terbuka yang menang di tahun 2008 silam.

Dia M. Sholeh. Pengacara yang juga bakal caleg PDI Perjuangan, untuk Pemilu 2009. Sepanjang hidupnya, kemenangan gugatanya terus mejadi sejarah, bahwa berkat gugatannya di MK, sistem Pemilu DPR lintas level pun, harus menerapkan proporsional terbuka. Sudah sah dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008.

Terhitung sejak 23 Desember 2008 itu pun, Pemilu 2009 harus menerapkan perolehan suara calon legislatif (Caleg) terbanyak, sebagai pemilik kursi yang sah di gedung DPRD Kabupaten / Kota, DPRD Provinsi, hingga DPR RI.

Kala itu, Sholeh boleh berpuas diri. Sebab dia yang caleg PDI Perjuangan di nomer urut bawah, akhirnya memiliki kesempatan yang sama dengan caleg urutan pertama. Kompetisi banyak-banyakan suara antar caleg di satu partai pun, bakal terjadi semenjak MK memenangkan gugatannya.

Namun sayang, partai yang memasukkan namanya di bakal caleg Dapil 1 Jatim yang saat itu meliputi Surabaya dan Sidoarjo, harus kandas karena PDI Perjuangan langsung mencoretnya. Seperti menafsirkan bahwa sejak awal, PDI Perjuangan tidak sejalan dengan langkahnya tentang proporsional terbuka.

Dia pun “ngaplo”. Tak lagi bisa nyaleg. Padahal salah satu motifnya menggugat ke MK, supaya caleg nomer urut buncit sepertinya, memiliki kesempatan yang sama-sama bisa menang, karena keringatnya sendiri sebagai caleg.

Sebelum adanya Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008, pemilih hanya disodorkan coblos nama, nomer dan logo partainya saja. Tidak ada kolom nama caleg. Sehingga jika partai yang bersangkutan meraih suara untuk satu kursi, maka hanya caleg nomer urut 1 yang berhak menang secara otomatis. 

Meski tanpa turun ke masyarakat pun, caleg nomer urut 1 bisa langsung ekspres duduk di kursi gedung dewan. Kemudian caleg nomer urut 2, 3, 4, dan seterusnya, sekedar bergelar caleg “pupuk bawang”. Tidak pernah bisa menjabat, kecuali caleg nomer satu di PAW.

Sistem yang demikian dianggap Sholeh, bakal “membunuh” kebebasan masyarakat untuk memilih wakil rakyat yang mereka kehendaki. Bukan sekonyong-konyong selera partai. Kemudian dampak positifnya, bagi caleg yang serius ingin memenangkan kontestasi pemiihan legislatif, bakal aktif dan rajin turun ke masyarakat.

Ketika dimaknai secara obyektif, seharusnya partai politik diuntungkan dengan sistem porporsional terbuka. Sebab selain mesin partai politik yang bekerja, tim sukses dan relawan masing-masing caleg pun, juga sama-sama giat mendulang suara. Terlebih di akhir rekapitulasi, hasil perolehan suara coblos partai dan nama caleg-nya pun, bakal diakumulasikan menjadi suara partai.

Sama sekali tidak ada partai yang dirugikan atas sistem proposional terbuka. Meski pun akhirnya, hak partai memprioritaskan caleg jadi, beralih menjadi hak prerogatif masyarakat sebagai pemilih langsungnya. Dan apakah kemudian, yang seperti ini tidak tianggap demokratis?.

“Pragmatisme” Partai Mulai Bermunculan

Seiring berjalannya waktu, memang tidak sedikit partai politik yang memilih cara praktis. Mereka lebih mengedepankan, suara Pileg untuk partainya aman. Proses rekrutmen caleg-nya pun dibuat asal-asalan. Terpenting, caleg yang mereka gandeng mampu mendulang suara. Tujuannya satu : terhindar dari parlemen threshold.

Sampai akhirnya, muncul fenomena artis populer mendadak jadi politisi. Partai itu sendiri yang menggeser semangat M. Sholeh. Sekedar dikenal banyak orang, tanpa bekal dasar ilmu politik, sudah bisa ditarung bebaskan di gelanggang pemilihan umum. Tak heran kemudian, banyak politisi bermodal pupeler, namun miskin pengetahuan dan gagasan.

Masalah semakin menjadi-jadi. Partai pun sepertinya tak soal, asal caleg kaya finansial, tanpa dasar ideologi sekali pun, juga bisa mendadak jadi politisi. Praktik beli suara di lapangan pun, kemudian menjadi tradisi. Partai yang diharapkan menjadi lumbung peradaban, berubah menjadi “bank pendapatan”.

Kemudian muncul pertanyaan berulang. Kondisi faktual yang demikian, apakah karena proposional terbuka, atau karena partainya yang terlalu buka-bukaan?. (Bersambung)

(*) Penulis adalah Pemred Indikator Plus

REKOMENDASI UNTUK ANDA

TERKINI LAINNYA

Mau Camping Ala Keluarga Oppa Korea? Dira Kencong Aja!!!

Di pinggir persawahan. Di bawah bukit buatan. Meski terasa ada di pinggiran pedesaan, menyerupai pegunungan,…

Guru Ngaji Desa Tanggul Kulon Cair, Pemkab Kapan?

Guru ngaji menjadi salah satu garda penjaga moril, generasi penerus yang perlu diperhatikan. Bentuk kongkrit…

Raport Merah untuk KPU dan Bawaslu Jember

Front Mahasiswa Jember yang merupakan gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, mulai berani speak up…

Support Polsek Tanggul untuk Alorsi Volleyball

Polsek Tanggul kembali menunjukkan kepedulian, ke sejumlah kelompok kegiatan masyarakat di wilayah hukumnya. Kali ini…

Kejutan Pak Babin dari Kades Arifin

Seperti biasanya di setiap Hari Jumat, tiga pilar Desa Tanggul Kulon, sholat berjamaah bergiliran di…

45f