Oleh : Rully Efendi (*)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, sudah menetapkan Khofifah – Emil menjadi pemenang di Pilgub Jatim. Selisihnya pun tak main-main, mencapai angka 6 jutaan suara. Khofifah hanya kalah di 2 daerah, dari 38 kabupaten / kota se-Jawa Timur.
Menurut hasil penetapan KPU Jatim, Pasangan Luluk-Lukman memperoleh 1.797.332 suara. Khofifah – Emil berhasil meraih 12.192.165 suara. Sedangkan Risma-Hans, 6.743.095 suara.
Di luar catatan suara kemenangan Khofifah-Emil, ada evaluasi kritis yang perlu diperbaiki penyelenggara Pemilukada. Baik KPU maupun Bawaslu. Terlebih mereka yang ada di Kabupaten Jember.
Penulis merangkum serangkaian peristiwa, terkait permainan culas oknum penyelenggara pemilukada di Jember. Penyelenggara yang seharusnya netral, independen dan imparsial, fakta di Jember tidak demikian.
Pertama tentang Panwascam Sumberbaru, Jovita. Rekaman suara Jovita yang diduga kuat memerintahkan penyelenggara level di bawahnya, menyebar luas dan mampu mengaduk-aduk emosi rakyat.
Jovita meminta petugas Pemilukada di level desa hingga TPS, berbuat curang supaya paslon 02 kalah. Bahkan dengan keji dia pun memerintahkan, agar saksi 02 di Pemilukada “diracun” dengan mencampur CTM (obat tidur) di kopi. Setelah teler, baru anak buahnya diperintah memanipulasi hasil perolehan suara.
Paslon 02 di Pemilukada untuk Pilgub Jatim 2024, Khofifah-Emil. Sementara untuk Pilbup Jember, Fawait-Djoko. Paslon koalisi yang jelas dan tegas tidak didukung PDI Perjuangan.
Kedua, viral foto Ketua PPK dan Panwascam Sumberjambe, berpose bersama oknum PPS hingga KPPS, dengan memegang alat peraga kampanye Risma-Hans. Mereka seolah tidak menghiraukan prinsip netral, independen dan imparsial, layaknya penyelenggara yang ideal.
Peristiwa itu pun mendorong warga setempat, melaporkan ke Bawaslu Jember. Kemudian, Bawaslu mengeluarkan sanksi, yang menegaskan bahwa mereka telah melanggar kode etik. Meski sayang, sanksi Bawaslu hanya mencopot Ketua Panwascam. Tidak memecatnya.
Semakin membuat kecewa, oknum penyelenggara yang ada di bawah naungan KPU, seperti Ketua PPK, oknum PPS dan KPPS yang ikut terlibat layaknya timses terselubung Risma-Hans, malah lepas dari sanksi. Ketua PPK Sumberjambe jangankan dipecat, dicopot saja tidak.
Ketiga, santer tentang aplikasi bernama Gerak Juang, yang diperuntukkan sebagai sumber raport, oknum penyelenggara level kecamatan, desa hingga TPS, untuk mencari pemilih Risma-Hans. Bahkan informasi dari beberapa sumber, setiap penyelenggara dibebani 40 suara untuk Risma-Hans.
Kasak-kusuk itu semakin mengerucut kebenarannya, setelah tangkapan layar aplikasi Gerak Juang tersebar liar di medsos. Di mana di sisi kanan atas home aplikasinya, terpasang gambar Risma dan Gus Hans. Sedangkan di sisi kirinya, terdapat paslon bupati Jember Hendy-Firjaun.
Kejadian tersebut memancing kepedulian masyarakat Jember terhadap demokrasi. Masyarakat akhirnya turun menggelar demonstrasi. Mendatangi kantor KPU dan Bawaslu Jember.
Kemarahan demonstran tak terbendung. Sampai pagar kantor Bawaslu Jember roboh, karena massa yang merangsek masuk untuk mengejar pertanggungjawaban komisioner Bawaslu Jember.
Peristiwa yang demikian seharusnya tidak boleh terjadi. Sebab itu, jelas-jelas mencoreng marwah demokrasi yang lahir dan terus dirawat pasca reformasi.
Kita pun harus belajar dari kejadian di Jember tersebut. Bahwa rakyat tidak bisa ditipu daya, oleh skenario jahat oknum penyelenggara. Buktinya, paslon yang ditata menang dengan cara-cara curang, masih saja tumbang di Bumi Pandalungan Jember.
(*) Penulis adalah aktivis pegiat sosial media dan seorang jurnalis.