Oleh : Zainul Ulum (*)
Terungkap, kunjungan wisatawan di Jember rendah. Pengakuan itu disampaikan sendiri oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jember, Harry Agustriono. Namun yang membuat tercengang, pejabat “naturalisasi” dari Jogjakarta itu menyebut, biang keladinya karena sumber daya manusia.
Dia tak segan menyebut alam di Jember layak jual. Beberapa tempat berpotensi dieksplor jadi destinasi wisata unggulan. Namun itu semua gagal mengantarkan Jember jadi daerah wisata, karena lemahnya SDM. Kemudian, dia meminta sokongan dana yang disebutnya anggaran.
Pejabat hasil open bidding sepertinya, harusnya memiliki keunggulan kompetensi di atas rata-rata. Bukan biasa-bisa saja. Supaya ada hasilnya, mendatangkan orang jauh dari Jogjakarta. Namun sarannya, kenali Jember sebelum berstatement.
Mari kita bedah satu-persatu persoalannya. Pertama, tentang konsistensi program pemerintah soal wisata dan kebudayaan di Jember. Tidak seperti Jember Kreatif Laboratorium (J-KLAB). Seminggu ramai, berikutnya terbengkalai.
Apa ini yang dimaksud lemahnya SDM? Padahal, ada bupati yang telah menunjuk anda jadi kepala dinas, di barisan terdepan J-KLAB. Sampai rela “menumbalkan” Dinas Sosial, pindah kantor ke Liposos yang kini harus nyebrang rel kereta api tanpa palang pintu.
Kedua, tentang program wisata yang sporadis dan seolah tanpa kajian ilmiah yang matang. Bahwa publik masih mengingat, wisata gratisan di momen musim lebaran yang tak jelas ujungnya. Tiba-tiba ada program dadakan, tiba-tiba pula berhenti tanpa kejelasan.
Beginian menandakan bahwa pemerintahan saat ini, gemarnya bermain seremonial. Gagah di depan, mandul di tengah jalan, di akhir bubar tanpa kejelasan.
Ketiga, apakah sudah berkontemplasi sebelum berstatement?. Tentang apa yang dilakukan dinasmu, kepada mereka pelaku wisata grassroots?. Jika anda belum merenung, boleh saya beri bocoran, bahwa selama anda memimpin di Disparbud Jember, mereka para pelaku wisata malah merasa sendirian tanpa kehadiran dinas.
Keempat, mengeluh soal anggaran menunjukkan tentang kurangnya kecerdasan. Seolah kreativitasnya berhenti di tengah jalan. Padahal pelaku wisata di perdesaan, sudah terbiasa hidup terampil dengan dana swadaya. Meski tanpa perhatian, mereka tetap bisa survival.
Kelima, bolehlah anda keliling Jember untuk mengenal karakter Bumi Pandhalungan. Seperti siswa baru di sekolahan, yang butuh masa orientasi pengenalan sekolah.
Jika masih begitu-gitu saja, rugi besar masyarakat Jember memanggil orang luar daerah, namun hasilnya biasa-biasa saja. Semisal masih mengeluh kondisi yang ada di Jember, kenapa tidak mundur saja?...
(*) Penulis adalah Direktur Indikator Plus