Malam Minggu, 17 September 2016 silam. Aspirasi Para Lora dan Gus (Asparagus) Jember, resmi terbentuk di Ponpes Darus Sholah, Tegal Besar Jember. Mereka yang terlibat, para kiai muda dan putera kiai se-Jember.
Meski Asparagus semacam wadah organisasi, namun tak ada yang menduduki puncak pimpinan. Semua anggota dianggap sama, setara dan tentunya selevel. Sebab titik tekan utama terbentuknya Asparagus, sebagai wadah silaturahmi para Lora dan Gus yang progresif.
Meskipun Asparagus basisnya kiai muda dan anak kiai Nahdliyin, komunitas ini tidak masuk dalam struktural Nahdlatul Ulama (NU) maupun Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI). Namun, merek tetap menjaga tradisi Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Tegas pula, Asparagus tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu. Bahkan soal politik praktis, organ ini menarik diri di posisi sejauh mungkin. Persoalan diantara anggotanya yang berpolitik praktis, mereka menghargai sebagai sikap pribadinya. Bukan dalam konteks Asparagus-nya.
Lora Rodi, salah seorang penggagas Asparagus di Jember, menyebut fokus kegiatannya lebih diarahkan kepada kegiatan keagamaan, sosial dan kemasyarakatan. “Kami kumpul hanya ingin para Lora dan Gus ini bersatu dan berdiskusi untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan lain,” jelas, Pengasuh Ponpes Al Azhar Muktisari, Sumbersari.
Lora Fauzan Adhim, Pengasuh Ponpes Al Fauzan Ajung, menyampaikan awal tercetusnya komunitas Asparagus itu dari Kabupaten Jombang. Dinilai sebagai alternatif tempat para Lora dan Gus bernaung. Kemudian, sejumlah daerah mulai mengikutinya. Tak terkecuali di Jember.
Mereka sadar, terlahir sebagai anak kiai mendapatkan perlakuan berbeda oleh masyarakat. Tak jarang kondisi demikian, malah membuat mereka tidak nyaman. Semacam manusia eksklusif. Padahal kepribadian mereka, menginginkan bisa bergaul dengan siapa pun dan tanpa batas.
Gus Tata, Ponpes Al Fatah Talangsari, blak-blakan menyampaikan, jika dirinya disuruh memilih untuk melepas sebutan Gus yang melekat sejak lahir, dia mengaku rela dan senang hati. Sebab ada beban moril yang harus dijaga, setiap langkah di kehidupan sehari-harinya. Belum lagi sikap jamaah yang memperlakukan seorang Gus.
Ya. Sama juga yang dirasakan Gus Zaki. Putra Almarhum Gus Yus pengasuh Ponpes Darus Sholah, itu mengaku harus menjaga sikap sejak dia kecil. Memang tidak ada yang salah. Bahkan dia bersyukur. Namun apa pun itu, seorang Lora dan Gus tetap anak, remaja dan pemuda yang sama dengan lainnya.
Terkadang, perlakuan istimewa masyarakat kepada seorang Lora dan Gus, malah membuat mereka risih. Bahkan terkesan ada strata sosial yang berbeda. Padahal mereka tidak menginginkan itu. “Apalagi kedudukan kita di mata Allah kita sama,” ujarnya dengan nada bijak.
Namun mau tidak mau, mereka tetap menjadi publik figur. Seorang yang menjadi panutan khalayak umum. Sehingga, solusi cerdas yang dinilai menjadi jalan tengahnya, para Lora dan Gus itu membentuk sebuah komunitas bernama Asparagus. (Rully Efendi)